Skip ke Konten

WTP: Bukan Berarti Tanpa Korupsi

Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

Opini -- Dalam beberapa hari terakhir, linimasa media sosial pemerintah daerah dan pemberitaan lokal dipenuhi euforia atas pencapaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kepala daerah berpose dengan piagam kehormatan, disambut riuh tepuk tangan ASN dan publik yang digiring untuk percaya bahwa WTP adalah predikat tertinggi atas keberhasilan pengelolaan keuangan daerah. Tak jarang, WTP diklaim sebagai bukti "bersih dari korupsi".


 Padahal, secara hukum dan secara faktual, klaim semacam ini menyesatkan.

WTP bukanlah sertifikat antikorupsi. Ia hanya salah satu dari empat jenis opini yang diberikan BPK atas laporan keuangan, semata berdasarkan kriteria akuntansi pemerintahan. Dalam terminologi teknis, WTP menyatakan bahwa laporan keuangan entitas pemerintah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Artinya, fokus WTP ada pada kelengkapan dan kepatuhan administratif laporan, bukan pada realitas moral atau hukum dari penggunaan anggaran tersebut.


Di sinilah paradoks WTP bermula. Banyak daerah memperoleh opini WTP, tetapi para pejabatnya tersandung kasus korupsi. Tengok saja beberapa kasus besar korupsi di daerah yang terbongkar KPK dan Kejaksaan dalam lima tahun terakhir mayoritas dari mereka meraih WTP. Sebut saja kasus di Papua, Sumatera Barat, hingga Sulawesi Tenggara. Korupsi tetap terjadi meskipun laporan keuangan mereka dikatakan "wajar tanpa pengecualian".


Hal ini menegaskan satu fakta penting bahwa opini WTP bukan jaminan tidak adanya fraud, penyimpangan, atau moral hazard dalam pengelolaan keuangan. BPK pun secara konsisten menyatakan bahwa opini audit bukan merupakan jaminan terhadap ketiadaan penyimpangan (fraud) atau penyalahgunaan wewenang. Sebab, BPK bekerja dengan metode pengujian berbasis sampling, bukan investigasi menyeluruh sebagaimana aparat penegak hukum. Maka, adanya WTP tidak menutup kemungkinan adanya praktik gratifikasi, mark-up anggaran, pengadaan fiktif, atau pengaturan tender yang sistematis.


Secara yuridis, peran BPK diatur dalam Pasal 23E hingga Pasal 23G UUD 1945 serta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. BPK berwenang melakukan pemeriksaan keuangan negara, yang meliputi pemeriksaan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Opini WTP hanya merupakan hasil dari pemeriksaan keuangan, bukan pemeriksaan kinerja atau investigatif.


Di sinilah letak kekeliruan dalam cara kita memaknai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Evaluasi terhadap kualitas pemerintahan daerah seharusnya tidak berhenti pada indikator formalistik seperti WTP. Harus ada pengujian substantif terhadap praktik integritas, efisiensi anggaran, partisipasi publik, serta ketaatan terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.


Ironisnya, dalam praktik politik elektoral, WTP kerap digunakan sebagai alat legitimasi elektoral dan propaganda kinerja. Kepala daerah yang sedang menjabat, atau tengah bersiap untuk mencalonkan diri kembali, menjadikan WTP sebagai “jualan politik”. Padahal, WTP hanyalah gambaran dari “buku kas”, bukan cermin moralitas kekuasaan.


Lebih ironis lagi, di beberapa daerah, WTP diperoleh dengan cara yang tak semestinya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengungkap bahwa sejumlah oknum BPK “bermain mata” dengan pejabat daerah untuk menjual opini WTP dengan imbalan uang atau fasilitas. Kasus suap WTP di Jawa Barat dan Sumatera Barat menjadi preseden gelap tentang bagaimana opini yang seharusnya objektif, berubah menjadi komoditas.


Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan mendasar, di mana letak kegagalan sistem pengawasan dalam tata negara kita?

Menurut penulis kegagalan sistem pengawasab disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak adanya koneksi sistematis antara BPK dan aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti temuan. BPK memang dapat menyerahkan hasil pemeriksaan kepada penegak hukum, tetapi tidak semua temuan berujung pada proses hukum. Banyak temuan yang "berdiam diri" dalam lemari laporan, tanpa ada dorongan untuk ditindaklanjuti secara serius.


Kedua, lembaga legislatif daerah (DPRD) kerap kehilangan daya kritisnya. Padahal, DPRD adalah lembaga pengawas internal dalam arsitektur otonomi daerah. Namun, dalam banyak kasus, DPRD justru larut dalam euforia WTP, ikut bertepuk tangan dan melupakan tugas kontrolnya. Di sinilah kita melihat bagaimana sistem check and balances mandek karena kooptasi dan kepentingan politik praktis.


Ketiga, masyarakat sipil belum sepenuhnya memiliki akses dan pemahaman terhadap substansi laporan keuangan dan opini audit. Narasi teknokratis WTP hanya bisa dibantah bila publik memiliki literasi anggaran yang kuat. Sayangnya, jargon anggaran publik masih terlalu elitis dan sengaja dijauhkan dari ruang partisipasi warga.


Oleh karena itu, sudah saatnya kita melakukan “dekonstruksi makna” terhadap opini WTP. Pemerintah daerah boleh saja bangga, tetapi kebanggaan itu harus proporsional. WTP adalah langkah administratif menuju akuntabilitas, bukan finalisasi integritas. Ia bukan medali emas integritas, melainkan hanya laporan bahwa sistem pembukuan tidak keliru menurut standar akuntansi.


Yang lebih penting dari WTP adalah apakah anggaran benar-benar sampai ke rakyat. Apakah dana BOS digunakan untuk memperbaiki mutu pendidikan, apakah anggaran infrastruktur tidak bocor, dan apakah belanja hibah tidak menjadi lahan bagi-bagi uang kepada kelompok simpatisan saat pilkada . Inilah ukuran sejati keberhasilan tata kelola keuangan daerah.

WTP memang perlu diapresiasi, tapi jangan sampai kita terperangkap dalam euforia yang membutakan. Di balik piagam yang dibingkai rapi dan dipajang di kantor kepala daerah, bisa saja tersembunyi praktik gelap kekuasaan yang justru menyalahgunakan uang rakyat. Maka, mari kita jaga nalar kritis dan terus dorong transparansi yang lebih substantif.

di dalam Opini
Perpres Perlindungan Jaksa: Jalan Sunyi Bangkitnya Dwi Fungsi
Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare