Skip ke Konten

Pada Detik Hujan Mereda dan ‘Terpujilah Guru’ Menggema: Salam untuk Mereka yang Menjadi Segalanya bagi Pendidikan

Oleh : Sri Rahayu Andira (Dosen Jurnalistik Islam IAIN Parepare)
25 November 2025 oleh
Pada Detik Hujan Mereda dan ‘Terpujilah Guru’ Menggema: Salam untuk Mereka yang Menjadi Segalanya bagi Pendidikan
Humas IAIN Parepare
Opini - Pagi ini, Taman Moderasi IAIN Parepare diwarnai baju-baju adat yang merekah seperti bunga yang mencari kehangatan di tengah udara pagi. Warna-warninya berpadu dengan tanah yang masih lembap, seolah menghadirkan taman baru tempat tradisi dan rasa hormat tumbuh berdampingan. Para dosen dan tenaga kependidikan berdiri dalam barisan yang tenang. Langit tampak muram, sebelumnya hujan turun tanpa aba-aba, membasahi tanah dan menebarkan aroma dingin yang merayap pelan di antara deretan gedung kampus tercinta. Namun tepat ketika peringatan Hari Guru akan dimulai, hujan tiba-tiba mereda sejenak, seolah langit memberi restu bagi penghormatan kepada para pendidik.

Momen itu menghadirkan keheningan yang padat makna. Rintik yang barusan berderai seperti memilih menepi sejenak, memberi ruang bagi peringatan berjalan dengan khidmat. Ada sesuatu yang tak terucap, namun terasa jelas, bahwa pendidikan dalam segala tantangan dan keterbatasannya, tetap dijaga oleh hati-hati yang tulus.

Ketika pengeras suara mulai mengalunkan “Terpujilah Guru”, suasana di halaman kampus berubah perlahan menjadi ruang permenungan yang damai. Lagu itu, yang telah begitu lama menjadi penghormatan bagi guru, mengalir dengan lembut namun menghentak rasa. Nada demi nada seperti membuka pintu kenangan banyak orang, tentang sosok guru pertama yang menuntun tangan kita menulis huruf, tentang guru yang memperbaiki cara kita bermimpi, atau guru yang kadang hanya menegur pelan tapi menjadi nasihat yang tak pernah terlupa.

Dalam hening dan syahdu itu, tampak jelas betapa pengabdian guru sering berjalan dalam sunyi, tanpa sorot lampu, namun terus menguatkan fondasi bangsa.

Paulo Freire pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah tindakan cinta dan keberanian. Kalimat itu menemukan wujudnya pada setiap pribadi yang mengajar, guru sekolah dasar yang sabar menuntun anak mengeja, guru madrasah yang membentuk karakter, hingga dosen yang membukakan jendela dunia baru melalui ilmu. Mereka mungkin tidak selalu mendapat panggung, namun perannya tak tergantikan.

Mereka membentuk manusia, membangun keberanian, menanamkan nilai, dan menyalakan harapan. Perannya tidak selesai di depan papan tulis, ia berlanjut dalam cara murid-murid mengambil keputusan, menghadapi tantangan hidup, dan bermimpi tentang masa depan.

Maka ketika hujan mereda di detik yang paling tepat, banyak mata yang menyadari bahwa ada simbol yang tersirat di baliknya, pengabdian guru layak diberi jalan untuk dihormati, meski hanya lewat sebuah jeda kecil dari langit. Demikian pula perjalanan kita sebagai CPNS dosen: ada rintangan, ada cuaca yang tak menentu, tetapi selalu ada jeda kecil yang menguatkan dan mengingatkan bahwa kita berada di jalan yang benar. Momen Hari Guru itu bukan hanya penghormatan bagi mereka yang telah lebih dulu mengabdi, tetapi juga panggilan bagi kita untuk meneruskan ketulusan yang sama, dengan keberanian menghadapi sistem yang belum sempurna dan tantangan akademik yang terus berkembang. Kita adalah bagian dari mata rantai panjang yang menjaga cahaya pendidikan tetap menyala, bahkan ketika langkah terasa berat. Maka mari melangkah dengan keyakinan: setiap kelas yang kita ajar, setiap mahasiswa yang kita bimbing, adalah lanjutan dari doa yang menggema di pagi tadi, doa agar pendidikan Indonesia tetap tegak oleh hati-hati yang ikhlas dan tak pernah menyerah.

Peringatan Hari Guru di tengah cuaca yang berubah-ubah ini menunjukkan satu hal,
pendidikan Indonesia berdiri karena orang-orang yang memilih setia, bahkan ketika keadaan tidak selalu mudah.
Para guru, dosen, dan tenaga kependidikan bukan sekadar pengajar, tetapi penjaga ketangguhan pendidikan. Mereka menerangi jalan banyak orang, bahkan ketika mereka sendiri harus berjalan di tengah hujan, di bawah panas, atau di balik berbagai keterbatasan sistem.

Hari itu, di halaman kampus yang masih lembap, ketika “Terpujilah Guru” menggema, satu hal terasa semakin jelas, bahwa pendidikan bertahan bukan karena bangunan atau kebijakan, melainkan karena ketulusan orang-orang yang menjadi segalanya bagi pendidikan, meski sering bekerja dalam diam menelan keluhan.

Selamat Hari Guru. Untuk semua yang tetap menjadi cahaya, meski kadang harus berjalan di tengah hujan.

di dalam Opini
Mendidik dengan Hati, Memimpin dengan Ilmu : Fiqhi Siyasah untuk Guru
Oleh : Badruzzaman Nawawi (Dosen HTN IAIN Parepare)