Skip ke Konten

MBG dan Skandal Kelalaian Negara

Oleh : Rusdianto Sudirman Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

Opini - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang pemerintah sebagai salah satu instrumen peningkatan kualitas pendidikan kini menimbulkan paradoks. Alih-alih menjadi solusi pemenuhan gizi siswa, di sejumlah daerah program ini justru melahirkan insiden keracunan massal. Ratusan siswa dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap makanan dari dapur penyedia MBG.


Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar, sejauh mana negara memastikan aspek keselamatan dan kesehatan publik dalam implementasi program strategis? Dari perspektif hukum tata negara, kasus ini menyentuh langsung prinsip tanggung jawab negara terhadap hak asasi warganya, khususnya hak atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945.


Dalam hukum pidana, kelalaian atau culpa dipahami sebagai perbuatan yang menimbulkan kerugian karena pelaku tidak menjalankan standar kehati-hatian yang semestinya. Indikasi kelalaian dapat dilihat dari ketiadaan standar ketat keamanan pangan di dapur MBG, lemahnya pengawasan oleh Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi, distribusi makanan yang tergesa-gesa, serta minimnya sertifikasi tenaga pengolah makanan.


Unsur kelalaian ini tidak sekadar persoalan teknis, melainkan mengandung implikasi hukum serius. Negara, melalui pemerintah pusat maupun daerah, bisa dianggap abai dalam menjalankan kewajiban konstitusional menjamin kesehatan warganya.


Dalam teori hukum tata negara, terdapat prinsip tanggung jawab negara yang mengikat setiap kebijakan publik. Dalam konteks MBG, setidaknya ada tiga lapis kewajiban yang harus dipenuhi negara. Pertama, tanggung jawab konstitusional. Hak atas kesehatan dan pendidikan bukan janji politik, melainkan mandat UUD 1945. Kegagalan program MBG yang menimbulkan korban berarti pelanggaran kewajiban negara memenuhi hak dasar warga. 


Kedua, tanggung jawab administratif. Dari sisi tata kelola, penyusunan regulasi dan SOP MBG tampak lemah. Instrumen pengawasan tidak jelas, mekanisme evaluasi minim, dan standar penyedia jasa tidak transparan. Hal ini menunjukkan adanya maladministrasi yang dapat ditindaklanjuti melalui mekanisme Ombudsman. 


Ketiga, tanggung jawab pidana. Jika terbukti ada kelalaian serius dari pihak penyedia atau pengawas yang mengakibatkan korban keracunan bahkan meninggal, maka pasal kelalaian dalam KUHP dapat diterapkan.


Secara struktural, Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi sejatinya bukan lembaga yang memiliki kapasitas teknis mengelola pangan dalam skala besar. Mereka lebih dekat pada administrasi pendidikan ketimbang pengawasan kualitas gizi. Ketika dipaksa menjalankan peran teknis yang kompleks, celah kesalahan justru terbuka lebar.


Demikian pula dengan pengelola dapur MBG. Banyak penyedia hanyalah usaha kecil menengah yang terbiasa melayani hajatan keluarga, bukan ribuan porsi per hari dengan standar kesehatan ketat. Perbedaan skala dan risiko ini seharusnya diantisipasi negara dengan program pelatihan, sertifikasi, hingga audit ketat sebelum penunjukan kontrak.


Secara yuridis, KUHP menyediakan dasar penegakan hukum terhadap kasus ini. Pasal 359 KUHP menyebut, barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain dapat dipidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Pasal 360 KUHP juga menegaskan, barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka berat diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Jika akibat kelalaian itu menimbulkan luka pada orang lain, ancaman pidana lebih ringan, yakni penjara paling lama sembilan bulan atau denda. Dengan ratusan siswa yang mengalami keracunan, maka jika terbukti ada kelalaian serius dari pengelola dapur atau pihak pengawas, pasal-pasal ini relevan diterapkan.


Selain KUHP, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga dapat dijadikan dasar hukum. Pasal 8 melarang pelaku usaha memperdagangkan barang atau jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan. Pasal 19 menyatakan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian akibat mengonsumsi barang atau jasa yang diperdagangkan. Pasal 62 memberikan ancaman pidana berupa penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak dua miliar rupiah bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8. Dengan demikian, penyedia dapur MBG yang terbukti tidak memenuhi standar keamanan pangan dapat dijerat dengan ketentuan ini.


Dengan kombinasi KUHP dan UU Perlindungan Konsumen, negara memiliki dasar kuat untuk menindak tegas pihak-pihak lalai. Namun tanggung jawab tidak bisa berhenti pada penyedia jasa dapur. Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi sebagai pihak pengawas, bahkan pemerintah daerah sebagai penanggung jawab kebijakan, juga dapat dimintai pertanggungjawaban melalui kerangka command responsibility. Aparat penegak hukum tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan semata, tetapi wajib menelusuri rantai tanggung jawab hingga ke tingkat pengambil kebijakan.


Untuk mencegah insiden serupa, ada sejumlah langkah perbaikan mendesak. Standarisasi dapur MBG secara nasional harus diterapkan, dengan syarat izin edar, sertifikat laik higiene sanitasi, serta tenaga bersertifikat keamanan pangan.


 Pengawasan tidak boleh hanya melekat pada SPPG, tetapi juga melibatkan BPOM, Dinas Kesehatan, dan organisasi profesi gizi. Penunjukan pengelola dapur harus dilakukan secara transparan, dengan sistem lelang berbasis kualitas, bukan semata harga terendah. Aparat penegak hukum wajib memproses setiap kasus keracunan dan menjatuhkan sanksi pidana maupun administratif jika terbukti ada kelalaian.


Keracunan siswa akibat MBG bukan sekadar insiden teknis, melainkan cermin kegagalan tata kelola negara. Program yang seharusnya mulia berubah menjadi ancaman kesehatan karena absennya standar ketat, lemahnya pengawasan, serta minimnya pengalaman pelaksana. 


Dari perspektif hukum tata negara, negara tidak bisa berkelit. Hak atas kesehatan dan keselamatan anak didik adalah mandat konstitusi. Kegagalan memenuhi mandat itu berarti negara lalai menjalankan kewajibannya.


Jika insiden ini tidak dijadikan pelajaran, MBG bisa berubah dari program gizi menjadi program darurat kesehatan. Negara wajib memastikan setiap suapan yang masuk ke mulut anak bangsa adalah jaminan masa depan, bukan potensi bencana.

di dalam Opini
Demokratisasi Kepakaran dan Resistensi Elit Jenius