Kasus pembunuhan berencana yang menyeret nama mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, menjadi salah satu peristiwa hukum paling menyita perhatian publik dalam satu dekade terakhir. Bukan hanya karena posisi strategis terdakwa di institusi kepolisian, melainkan juga karena kasus ini membuka mata masyarakat tentang kerentanan hukum ketika dihadapkan pada kekuasaan. Sebagai seorang akademisi hukum, saya melihat tragedi ini bukan semata persoalan pidana, tetapi juga ujian integritas hukum dan moral bangsa.
Ketika kasus ini pertama kali mencuat, publik terombang-ambing oleh berbagai versi cerita. Narasi yang berubah-ubah, rekayasa kronologi, serta upaya menutup fakta menjadikan masyarakat ragu apakah kebenaran benar-benar bisa ditegakkan. Rasa keadilan masyarakat terguncang karena melihat betapa hukum seakan dapat dipermainkan oleh mereka yang memiliki akses pada kewenangan.
Dalam ilmu hukum pidana, pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Unsur kesengajaan yang disertai perencanaan adalah inti pembeda dari tindak pidana ini. Dalam kasus Sambo, perencanaan terbukti melalui serangkaian tindakan: pengondisian tempat kejadian, mobilisasi bawahan, hingga manipulasi informasi. Fakta-fakta persidangan memperlihatkan bagaimana kekuasaan digunakan bukan untuk melindungi, tetapi justru untuk menutupi kejahatan.
Kasus ini menyingkap persoalan klasik: bagaimana hukum kerap berada di bawah bayang-bayang kekuasaan. Max Weber menyebut hukum modern idealnya rasional dan impersonal, tidak tunduk pada relasi pribadi atau jabatan. Namun dalam praktik, terutama di negara dengan kultur patrimonial seperti Indonesia, hukum sering kali diwarnai loyalitas personal.
Perintah atasan masih dianggap sakral, meskipun jelas bertentangan dengan hukum. Para anggota kepolisian yang terlibat dalam kasus ini memperlihatkan dilema tersebut: antara patuh pada komando atau berpegang pada hukum. Sayangnya, sebagian besar memilih jalur pertama, sehingga memperburuk situasi. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi kepolisian bukan hanya soal kelembagaan, melainkan juga pembentukan kultur hukum yang sehat.
Persidangan sebagai Pertaruhan
Persidangan Sambo menjadi pertaruhan besar bagi wajah peradilan kita. Hakim tidak hanya menilai fakta hukum, tetapi juga harus menjaga kepercayaan publik. Putusan yang dijatuhkan bukan sekadar memidana pelaku, melainkan juga memulihkan marwah hukum. Dalam perspektif Satjipto Rahardjo melalui gagasan hukum progresif, putusan hakim semestinya tidak hanya bersandar pada teks undang-undang, tetapi juga memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Ketika akhirnya pengadilan menjatuhkan hukuman berat, publik merasakan bahwa keadilan, meski terlambat, masih bisa ditegakkan. Namun, pertanyaan mendasar tetap tersisa: mengapa sistem harus menunggu sorotan publik begitu besar baru dapat bekerja sebagaimana mestinya?
Sebagai bangsa, kita tidak boleh melihat kasus Sambo sebatas drama hukum. Ada dimensi etis dan moral yang jauh lebih dalam. Seorang perwira tinggi kepolisian, yang seharusnya menjadi teladan, justru menjadi dalang kejahatan. Di titik ini, kita belajar bahwa jabatan setinggi apa pun tidak menjamin integritas moral seseorang.
Hukum pidana hanya bisa menyentuh aspek lahiriah berupa perbuatan. Tetapi masyarakat perlu menumbuhkan kesadaran bahwa moralitas adalah benteng utama sebelum hukum bekerja. Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman, pernah menegaskan bahwa hukum tidak boleh dipisahkan dari nilai keadilan dan moralitas, karena hukum yang tidak berkeadilan hanyalah “sekadar teks kosong.”
Kasus Sambo seharusnya menjadi momentum refleksi nasional untuk melakukan reformasi hukum secara lebih serius. Pertama, perlunya sistem pengawasan internal dan eksternal yang benar-benar independen. Lembaga pengawas tidak boleh berada dalam subordinasi institusi yang diawasi.
Kedua, perlunya pendidikan hukum dan etika yang lebih intensif di tubuh aparat penegak hukum. Loyalitas kepada hukum dan konstitusi harus ditempatkan di atas loyalitas kepada atasan. Hal ini dapat dimulai sejak pendidikan kepolisian maupun di lembaga peradilan.
Ketiga, transparansi informasi kepada publik harus menjadi prinsip utama. Keterbukaan bukan hanya soal hak masyarakat, tetapi juga sebagai mekanisme kontrol untuk mencegah rekayasa hukum.
Keadilan Sebagai Fondasi Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik terhadap hukum adalah modal sosial yang tidak ternilai. Tanpa kepercayaan itu, hukum akan dipandang hanya sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai penjaga keadilan. Kasus Sambo memperlihatkan betapa tipisnya batas antara tegaknya hukum dan runtuhnya legitimasi institusi.
Oleh karena itu, peradilan yang independen dan aparat yang berintegritas menjadi syarat mutlak. Hukum bukan milik penguasa, melainkan milik seluruh rakyat. Setiap putusan hukum harus memberi pesan kuat bahwa tidak ada seorang pun, betapapun tinggi jabatannya, yang berada di atas hukum. Seperti dikatakan oleh Cicero, “Salus populi suprema lex esto”—keselamatan rakyat hendaknya menjadi hukum tertinggi.
Kasus Sambo akan tercatat dalam sejarah hukum Indonesia sebagai tragedi yang mengguncang, tetapi sekaligus memberikan pelajaran berharga. Kita belajar bahwa hukum bisa goyah di hadapan kekuasaan, tetapi kita juga melihat bahwa tekanan publik dan keberanian hakim dapat memulihkannya.
Tugas kita ke depan adalah memastikan agar tragedi serupa tidak terulang. Reformasi hukum harus berjalan, pengawasan harus diperkuat, dan moralitas aparat harus menjadi prioritas. Hukum hanya akan bermakna jika ia menjadi cerminan nilai keadilan, bukan sekadar alat legitimasi.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip adagium klasik: fiat justitia ruat caelum—hendaklah keadilan ditegakkan meskipun langit runtuh. Kasus Sambo telah menguji adagium ini di hadapan bangsa. Pertanyaannya, apakah kita siap menjadikannya prinsip nyata dalam setiap peristiwa hukum di masa depan?