Skip ke Konten

Jika Hanya Mengajar, Itu Tutor. Guru Melakukan Lebih dari Itu

Oleh: Nurul Hasanah, M.Pd. (Dosen Bahasa Inggris IAIN Parepare)
25 November 2025 oleh
Jika Hanya Mengajar, Itu Tutor. Guru Melakukan Lebih dari Itu
Humas IAIN Parepare
Opini - Beberapa waktu lalu, saya mendengar keluh kesah seorang orang tua murid. Ia bercerita bahwa guru di sekolah anaknya “kurang perhatian”, seolah hanya datang ke kelas untuk mengajar lalu pulang. Di lain kesempatan, saya berbincang dengan guru sekolah dasar yang mengaku kini serba takut. Ia khawatir bersikap tegas pada murid, takut menegur, takut memberi konsekuensi, karena bayang-bayang “kriminalisasi guru”. Salah sedikit, viral; keras sedikit, dilaporkan.

Dua cerita ini, menurut saya, menggambarkan salah satu masalah kita hari ini. Kita menuntut guru jadi segalanya, tapi di saat yang sama memperlakukan mereka seolah hanya “tutor bayaran” yang tugasnya sekadar mengajar dan tidak boleh salah sedikit pun.

Padahal, jika yang kita bayangkan dari profesi guru hanyalah aktivitas mengajar, sebenarnya kita sedang membayangkan tutor, bukan guru. Sebab guru, dalam makna yang sesungguhnya, memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar dan lebih kompleks daripada sekadar berdiri di depan kelas dan menjelaskan materi.

Guru Itu Bukan Sekadar Pengajar

Dalam berbagai kajian pendidikan, termasuk TEFL, disebutkan bahwa seorang guru memegang sembilan peran penting sekaligus dalam proses pembelajaran: controller, organizer, assessor, prompter, participant, tutor, facilitator, model, hingga observer.
Bagi saya, daftar peran ini bukan hanya teori di buku. Inilah gambaran nyata kehidupan seorang guru di kelas. Guru harus tahu kapan tegas, kapan memberi ruang, kapan menjadi teman diskusi, kapan menjadi sumber inspirasi.

Guru memimpin kelas, namun pada saat yang sama harus mampu mundur agar siswa bisa belajar secara mandiri dan menemukan jalannya sendiri. Guru menilai, tetapi juga menjaga agar penilaian itu tidak mematahkan semangat. Guru mengarahkan, tetapi tidak memaksa.
Ini bukan pekerjaan yang dapat dilakukan oleh seseorang yang hanya fokus pada “menjelaskan materi”.

Mengajar hanyalah satu kepingan kecil dari keseluruhan mosaik peran seorang guru. Siapa pun yang menguasai materi bisa mengajar. Namun mendidik,menumbuhkan nilai, karakter, dan rasa ingin tahu, hanya bisa dilakukan oleh seorang guru.

Di Tengah Bayang-Bayang “Kriminalisasi Guru”

Di lapangan, saya melihat ada guru-guru yang mulai memilih aman. Mereka datang, mengajar sesuai RPP, menyelesaikan target kurikulum, dan berhenti di situ. Bukan karena mereka tidak peduli pada murid, tetapi karena mereka takut. Takut ditegur karena dianggap terlalu keras. Takut diadukan karena salah ucap. Takut dilaporkan hanya karena memberi sanksi yang sebenarnya masih wajar dalam konteks pendidikan.
Akibatnya, peran guru sebagai pendidik yang seharusnya boleh menegur, mengarahkan, bahkan memberi konsekuensi edukatif, semakin menyempit. Guru dipaksa menjadi “pengajar tanpa nyali”: jalankan materi, jangan terlalu terlibat, jangan ambil risiko.

Menurut saya, ini gejala yang berbahaya. Jika guru hanya boleh mengajar tanpa benar-benar mendidik, maka sekolah akan berubah menjadi tempat kursus besar-besaran. Kita mungkin mencetak anak-anak yang pintar mengerjakan soal, tetapi rapuh ketika berhadapan dengan tantangan hidup.

Orang Tua Juga Perlu Berkaca

Sebagian orang tua, dengan niat melindungi anak, kadang tanpa sadar menempatkan guru dalam posisi serba salah. Anak bercerita satu versi, guru tidak didengarkan versinya, media sosial dijadikan “meja hijau” pertama. Di sinilah kita perlu jujur. Apakah kita masih memercayai guru sebagai mitra dalam mendidik anak, atau sekadar penyedia jasa mengajar? Apakah kita memberikan ruang bagi guru untuk menjalankan peran mereka secara utuh, atau hanya memperbolehkan mereka sejauh tidak menyinggung perasaan siapa pun? Jika kita menginginkan guru yang benar-benar peduli pada perkembangan karakter anak, maka kita juga harus siap bahwa kepedulian itu kadang hadir dalam bentuk teguran, aturan, dan konsekuensi. Guru yang selalu menyenangkan belum tentu guru yang mendidik.

Saya tidak sedang membenarkan kekerasan atau penyalahgunaan wewenang. Ketika guru melampaui batas, tentu ada mekanisme yang bisa ditempuh. Namun melaporkan guru untuk setiap perkara kecil, atau menghakimi mereka di ruang publik tanpa tabayun, pada akhirnya hanya akan membuat guru menjauh secara emosional dari murid.

Mengembalikan Kemuliaan Peran Guru

Kita perlu duduk bersama: sekolah, guru, orang tua, dan juga pemerintah. Kita perlu mendefinisikan ulang batas-batas yang sehat antara perlindungan anak dan ruang gerak guru untuk mendidik. Guru membutuhkan dua hal: kejelasan aturan dan kepercayaan. Aturan yang jelas agar mereka tahu mana yang boleh dan mana yang tidak. Kepercayaan agar mereka berani menjalankan peran sebagai pendidik secara penuh, bukan hanya sebagai pengajar. Kita tidak bisa menuntut guru menjadi teladan, konselor, fasilitator, motivator, sekaligus “orang tua kedua” di sekolah, sementara dalam praktiknya kita hanya memperlakukan mereka sebagai tutor: datang, ajar, pulang, jangan macam-macam.

Untuk Semua Guru: Terima Kasih Telah Memilih Jalan Ini

Di tengah segala keterbatasan, kritik, dan tekanan, masih banyak guru yang tetap memilih jalan sunyi ini: hadir di kelas, menyapa murid dengan nama, mengingat siapa yang hari itu tampak murung, dan diam-diam mendoakan mereka dalam sujudnya. Untuk semua guru di mana pun berada, terima kasih karena tetap bertahan.
Teruslah berkarya, teruslah menyala, dan jangan lelah mengingatkan kami bahwa mendidik bukanlah pekerjaan sederhana.

Selamat Hari Guru

Semoga kita, sebagai orang tua, masyarakat, dan bangsa, tidak lagi menganggap profesi mulia ini sekadar “tukang mengajar”.

di dalam Opini
Seragam Gratis dan Politik Keberpihakan
Oleh: Rusdianto Sudirman Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare