Skip ke Konten

Guru Besar : Jalan Sunyi Meraih Cahaya Kepakaran

Oleh : Ir. Sufyaldy, M.Kom

Opini - Di malam yang hening, sang dosen sepuh duduk di hadapan layar laptopnya, menatap kosong tumpukan berkas pengajuan jabatan akademik yang seolah tak pernah usai. Di luar jendela, rintik hujan turun pelan, seakan ikut merasakan beban berat yang dipikulnya. Puluhan tahun ia telah mengabdikan diri mengajar dengan penuh dedikasi, membimbing ratusan mahasiswa, dan menulis puluhan artikel ilmiah. Namun, jalan menuju gelar guru besar tetap terasa seperti mendaki gunung yang sunyi dan berliku. Di balik senyum ramahnya di kelas, tersimpan luka dari revisi jurnal yang tak kunjung selesai, penolakan artikel, biaya publikasi yang mencekik dan birokrasi yang kerap membingungkan. Ia bukan hanya berjuang melawan waktu, tetapi juga melawan keraguan diri, kesepian, dan sistem yang tak selalu berpihak. Menjadi guru besar bukan sekadar meraih pangkat, ia adalah perjuangan menaklukkan rintangan dengan ketekunan dan cinta mendalam pada ilmu.


Menjadi Guru Besar: Antara Idealisme dan Realitas


Gelar guru besar atau profesor adalah puncak tertinggi dalam karier akademik, simbol pengakuan atas kepakaran, keunggulan ilmiah dan pengabdian. Namun, di Indonesia, perjalanan menuju gelar ini sering kali lebih dari sekadar prestasi akademik. Ia menguji ketahanan mental, kesabaran, dan kemampuan menavigasi sistem yang kompleks. Banyak dosen yang telah memenuhi syarat akademik seperti publikasi di jurnal bereputasi, membimbing mahasiswa magister dan doktor, serta aktif dalam pengabdian masyarakat terhambat oleh urusan administratif, seperti akreditasi jurnal, penilaian angka kredit yang rumit, atau proses birokrasi yang memakan waktu.


Seorang calon guru besar harus menjadi serbabisa. Peneliti ulung yang menghasilkan karya ilmiah bermutu, pendidik inspiratif yang membimbing mahasiswa dengan penuh perhatian, dan pelayan publik yang berkontribusi pada masyarakat. Semua ini dilakukan di tengah tekanan dari institusi, tanggung jawab keluarga, dan kadang kala perasaan kurang dihargai. Namun, justru dalam tantangan ini karakter seorang profesor sejati ditempa. Ia belajar untuk tidak menyerah meski artikelnya ditolak berkali-kali, tetap mengajar dengan semangat meski lelah, dan terus percaya bahwa ilmu adalah jalan mulia yang layak diperjuangkan.


Martin dan Marsh (2008) dalam teori akademik resilience menggambarkan perjuangan menuju guru besar. Ia menjelaskan bagaimana individu di lingkungan akademik mampu bertahan dan berkembang di tengah tekanan, berkat kombinasi rasa percaya diri akademik, kemampuan mengelola stres, dan komitmen pada tujuan jangka panjang. Bagi seorang dosen, ketahanan akademik adalah kunci untuk menghadapi penolakan jurnal, tekanan administratif, dan beban kerja yang menumpuk. Mereka yang memiliki ketahanan tinggi melihat kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran, bukan akhir dari perjuangan. Sebagai contoh, ketika sebuah artikel ditolak oleh jurnal internasional, seorang dosen dengan ketahanan akademik tinggi akan mencari umpan balik konstruktif, merevisi karyanya, dan mencoba lagi. Mereka juga membangun strategi adaptif, seperti menjalin kolaborasi dengan peneliti lain atau mengelola waktu secara efektif untuk menyeimbangkan tugas mengajar, meneliti, dan pengabdian masyarakat. Teori ini menegaskan bahwa ketekunan dan kemampuan untuk bangkit dari kegagalan adalah pilar utama dalam perjalanan menuju puncak karier akademik. Dalam sunyi malam, ketika dosen itu menatap layar laptopnya, ketahanan akademik menjadi cahaya yang menuntunnya untuk terus melangkah.


Bourdieu (1986) dengan teori kapital akademiknya menawarkan perspektif lain tentang dinamika perjuangan menuju guru besar. Kapital akademik menurutnya mencakup sumber daya sosial, budaya, dan simbolik yang mendukung kesuksesan akademik, seperti publikasi di jurnal bereputasi, jejaring dengan akademisi lain, pengakuan dari komunitas ilmiah, dan akses ke sumber daya institusional seperti dana penelitian. Namun, di Indonesia, distribusi kapital akademik sering kali tidak merata. Dosen di universitas kecil atau daerah terpencil mungkin menghadapi keterbatasan akses ke jurnal internasional, peluang kolaborasi global, atau mentor berpengaruh.


Disini ia berusaha  menjelaskan mengapa perjalanan menuju guru besar bisa terasa lebih berat bagi sebagian dosen. Mereka yang memiliki kapital akademik kuat—misalnya, lulusan universitas ternama atau memiliki koneksi dengan komunitas akademik internasional—cenderung lebih mudah memenuhi syarat. Sebaliknya, dosen dengan kapital akademik terbatas harus bekerja lebih keras untuk membangun reputasi, seperti dengan mempublikasikan artikel secara bertahap atau memanfaatkan platform digital untuk meningkatkan visibilitas penelitian. Namun, teori ini juga menunjukkan bahwa kapital akademik dapat dikembangkan melalui usaha konsisten, seperti menjalin kolaborasi lintas institusi atau menghadiri konferensi ilmiah. Dengan demikian, setiap langkah kecil dalam perjalanan akademik adalah investasi untuk membangun fondasi yang lebih kokoh.


Sang Penjaga Peradaban


Ketika gelar guru besar akhirnya diraih, perjalanan tidak berhenti. Seorang profesor memasuki babak baru sebagai penjaga peradaban, menjadi suara ilmu di tengah masyarakat, penasehat kebijakan berbasis data, dan teladan bagi generasi akademisi berikutnya. Tugasnya melampaui mengajar di kelas; ia membimbing mahasiswa dengan penuh dedikasi, menginspirasi dengan karya dan integritasnya, dan menjaga nilai-nilai akademik yang luhur.


Sebagai penyambung lidah ilmu, guru besar menjembatani dunia akademik dengan masyarakat luas. Ia menerjemahkan hasil riset menjadi wawasan yang mudah dipahami, mendorong kebijakan berbasis fakta, dan menjadi benteng melawan disinformasi, politisasi ilmu, serta komersialisasi pendidikan yang mengikis idealisme. Dalam era di mana informasi bergerak cepat dan sering kali menyesatkan, peran ini menjadi semakin vital. Lebih dari itu, guru besar adalah penjaga kebebasan berpikir di kampus. Ia memastikan universitas tetap menjadi ruang untuk bertanya tanpa takut, menumbuhkan gagasan-gagasan besar, dan menegakkan etika serta tanggung jawab dalam ilmu. Dengan mengintegrasikan ketahanan dan kapital akademik, seorang guru besar tidak hanya menghasilkan karya ilmiah bermutu, tetapi juga membentuk generasi penerus yang kritis, beretika, dan peduli pada kesejahteraan masyarakat.


Pengukuhan guru besar bukan sekadar seremoni formal. Ia adalah perayaan atas ketekunan, pengakuan atas pengabdian, dan penghormatan atas perjalanan panjang yang penuh liku. Pada hari itu, seorang dosen berdiri di podium, mengenakan toga, menyampaikan pidato ilmiah yang disusun dengan penuh makna. Di hadapan rekan sejawat, mahasiswa, dan keluarga, ia berbagi refleksi tentang risetnya, harapan untuk masa depan ilmu, dan tanggung jawab besar yang kini dipikulnya. Momen ini adalah bukti bahwa kerja sunyi dapat berbuah terang, bahwa idealisme dapat bertahan di tengah badai, dan bahwa cinta pada ilmu mampu mengatasi segala keputusasaan.

Setelah bertahun-tahun menulis dalam sepi, mengajar dalam lelah, dan meneliti dalam keterbatasan, sang dosen akhirnya berdiri gagah di podium pengukuhan. Di matanya terpancar kebahagiaan yang tulus, di senyumnya terukir rasa syukur yang mendalam. Luka dari revisi jurnal yang tak kunjung selesai, penolakan yang menyakitkan, dan malam-malam panjang penuh keraguan kini telah bertransformasi menjadi cahaya ilmu yang abadi. Seperti kata Jalaluddin Rumi, “Luka adalah tempat di mana cahaya masuk ke dalam dirimu.” Luka-luka itu, yang tersimpan di balik ketekunan menulis dan merevisi, telah menjadi pintu bagi ilmu untuk menerangi jiwanya dan dunia di sekitarnya. Ia telah mencapai puncak, bukan karena ia lebih hebat, tetapi karena ia lebih tekun. Ia menjadi guru besar, bukan karena mengejar gelar, tetapi karena mengejar makna sejati dari ilmu.


Kepada para guru besar, selamat atas capaian dan pengukuhannya. Semoga ilmu yang Anda jaga dan rawat , menjadi cahaya yang menerangi bangsa, dan semoga perjalanan sunyi Anda menjadi inspirasi abadi bagi para pencari ilmu di negeri ini. Dengan integritas, dedikasi, dan cinta pada ilmu, Anda telah membuktikan bahwa jalan sunyi menuju cahaya dan kepakaran adalah perjalanan yang layak ditempuh dan dituntaskan.

di dalam Opini
MBG dan Skandal Kelalaian Negara
Oleh : Rusdianto Sudirman Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare