Skip ke Konten

‎Formalitas Etik di Pengenalan Budaya Akademik

‎Oleh: Rusdianto Sudirman ‎Sekretaris Komite Penegak Kode Etik IAIN Parepare

Opini - ‎Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) selalu menjadi pintu gerbang bagi mahasiswa baru memasuki dunia kampus. Di atas kertas, agenda ini bukan sekadar seremonial penyambutan, melainkan proses internalisasi nilai, pembentukan karakter akademik, sekaligus momentum untuk meneguhkan komitmen pada kode etik mahasiswa. Namun, realitas di lapangan sering kali jauh panggang dari api.

‎Sebagai sekretaris merangkap anggota komite penegak kode etik, saya menyaksikan bagaimana peran etik dalam PBAK sering diposisikan sekadar tempelan formalitas. Nama “kode etik” disebut, kadang ditayangkan lewat slide presentasi atau dibacakan secara singkat, tetapi ruang dialog, pembahasan kritis, hingga internalisasi substansial hampir nihil.


Mahasiswa baru seolah hanya dipertontonkan aturan, bukan diajak memahami mengapa aturan itu lahir dan bagaimana ia relevan dalam kehidupan akademik.

‎Ironisnya, para mahasiswa pendamping yang mestinya menjadi teladan justru kerap tampil sebagai contoh buruk. Dari pakaian yang melanggar kode etik kampus, hingga perilaku yang mencerminkan sikap tidak hormat pada nilai-nilai akademik. Alih-alih menjadi role model, mereka justru meruntuhkan wibawa kode etik yang ingin ditegakkan. Bagaimana mungkin mahasiswa baru diminta patuh pada etika jika wajah pertama yang mereka lihat adalah pelanggaran terang-terangan?

‎Fenomena ini menunjukkan adanya paradoks. Di satu sisi, kampus ingin membangun budaya akademik berbasis integritas dan kedisiplinan. Di sisi lain, mekanisme yang ada justru memelihara ketidakkonsistenan. PBAK sering lebih menekankan pada aspek teknis, jadwal, atribut, ketimbang substansi. Akibatnya, nilai-nilai etik sekadar slogan yang tidak berdaya mengikat perilaku.

‎Kerapuhan sistem ini berakar dari beberapa hal. Pertama, lemahnya keterlibatan komite penegak kode etik dalam perencanaan dan pelaksanaan PBAK. Kehadiran mereka sering hanya diminta pada sesi tertentu, bukan dilibatkan sejak tahap desain program.


Kedua, minimnya pemahaman mahasiswa pendamping tentang peran mereka sebagai teladan. Fungsi instruktur lebih sering dipahami sebagai “pengatur acara” ketimbang figur yang harus merepresentasikan budaya akademik.


Ketiga, absennya mekanisme evaluasi dan penegakan sanksi secara konsisten, baik kepada mahasiswa baru maupun senior.

‎Dalam perspektif tata kelola kampus, kode etik mahasiswa bukan sekadar dokumen normatif. Ia adalah instrumen regulasi internal yang memiliki kekuatan mengikat layaknya peraturan perundang-undangan dalam lingkup miniatur negara. Ketika kode etik diabaikan, maka yang runtuh bukan hanya wibawa aturan, melainkan juga legitimasi kampus sebagai institusi pendidikan yang berbasis hukum dan integritas.

‎Kelemahan dalam implementasi dan penegakan kode etik dapat dikategorikan sebagai kegagalan institusi menjalankan rule enforcement. Dalam teori hukum tata negara, aturan tanpa penegakan sama dengan kertas kosong. Kampus yang gagal menegakkan kode etik sejak tahap awal pembinaan mahasiswa baru sesungguhnya sedang merawat budaya permisif terhadap pelanggaran. Inilah yang berpotensi melahirkan “generasi abu-abu”: paham aturan, tetapi terbiasa melanggarnya.

‎Menurut saya, Untuk membangun pengenalan budaya akademik yang lebih sistemik, perlu adanya integrasi Kode Etik dalam Kurikulum PBAK

‎Penegakan kode etik tidak cukup hanya berupa sesi sosialisasi singkat. Perlu modul khusus yang menjelaskan filosofi, prinsip, dan implementasi kode etik dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa. Modul ini sebaiknya disampaikan melalui pendekatan partisipatif, seperti diskusi kelompok, simulasi kasus, atau debat etik, bukan sekadar ceramah satu arah.

‎Kedepan perlu Seleksi dan Pembinaan Mahasiswa Pendamping. Mahasiswa senior yang menjadi pendamping harus dipilih dengan ketat berdasarkan rekam jejak kepatuhan etik. Mereka perlu mengikuti pembekalan khusus, tidak hanya soal teknis acara, tetapi juga pemahaman mendalam tentang peran mereka sebagai role model. Pendamping yang terbukti melanggar seharusnya langsung dicopot dari tugas.


Komite Penegak kode etik harus terlibat sejak tahap perencanaan, bukan hanya diundang sebagai pengisi materi. Kehadiran mereka diperlukan untuk merancang skema internalisasi nilai dan memastikan setiap instrumen PBAK selaras dengan norma etik yang berlaku di kampus. Setiap pelanggaran, baik oleh mahasiswa baru maupun senior, harus ditindak secara transparan dan konsisten.


Sanksi tidak semata-mata hukuman, tetapi juga pendidikan. Misalnya, pelanggar diwajibkan membuat refleksi tertulis atau presentasi tentang pentingnya kode etik. Mahasiswa baru perlu diberi ruang untuk bertanya, mengkritik, bahkan menguji rasionalitas kode etik. Pendekatan ini akan menumbuhkan kepatuhan berbasis kesadaran, bukan ketakutan.


‎PBAK sejatinya adalah gerbang untuk membangun integritas akademik. Namun selama ia dikelola secara formalistis, nilai etik hanya akan menjadi ornamen seremonial. Perguruan Tinggi harus berani melakukan reformasi pendekatan dari sekadar “menyebutkan kode etik” menjadi “menghidupkan kode etik” dalam perilaku nyata.

Generasi baru mahasiswa membutuhkan teladan, bukan sekadar aturan. Ketika pendamping tampil konsisten dengan etika, ketika penegak kode etik dilibatkan secara substantif, dan ketika sanksi ditegakkan tanpa pandang bulu, barulah kita bisa berharap lahirnya budaya akademik yang sehat. Tanpa itu semua, PBAK hanya akan melahirkan paradoks, aturan ditegakkan di mulut, tapi dilanggar di lapangan.


Pada akhirnya saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini bukan untuk menyudutkan siapa-siapa, tapi murni bentuk keresahan pribadi yang melihat pola PBAK yang terus menerus mempertahankan sistem yang tidak sejalan dengan jargon kampus " Malebbi Warekkadana , Makkiade Ampena".


Jargon di atas akan hanya menjadi tulisan monumental di gedung kembar rektorat, jika implementasi dan penegakan kode etik hanya terus menerus menjadi figuran dalam pelaksanaan PBAK.


Selamat datang mahasiswa baru tahun ajaran 2025/2026, selamat belajar dan teruslah menjadikan kode etik sebagai navigator untuk menuju jalan kesuksesan. Karena kampus tidak pernah kekurangan orang pintar, yang sulit ditemukan adalah mahasiswa yang beradab, dan itu hanya bisa dicapai jika kode etik dijadikan pegangan kita dalam bertutur dan bersikap.

di dalam Opini
Bersatu Berdaulat Melawan Intoleransi, Refleksi Kemerdekaan RI ke 80 Tahun
Oleh: Rusdianto Sudirman Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare