Oleh : Ir. Sufyaldy, M.Kom
Berkaca mata tebal mereka duduk di ruang-ruang senyap berlapis kaca. Di menara-menara riset tempat cahaya hanya datang dari layar monitor yang menyala lembut. Dahi mereka berkerut, bukan karena usia, tetapi karena beban ratusan ribu jam belajar yang mereka jalani, beban pengetahuan yang mereka tenun setipis sutra. Nama mereka dikenal dunia. Mereka adalah arsitek kecerdasan buatan, para dewa kecil dalam kerajaan algoritma. Namun kini, dari jendela kaca itu, mereka menyaksikan ciptaan mereka tumbuh menjadi sesuatu yang menatap balik ke arah merek. Tajam, cepat, dan tanpa ragu. Ada yang gugup. Ada yang diam. Ada pula yang bersuara lantang menuntut perlambatan.
Dan kita pun bertanya. Mungkinkah ketakutan mereka bukan hanya tentang masa depan manusia, tapi juga tentang pudar dan lenyapnya secara perlahan pengaruh dan kepakaran mereka sendiri ?
Ketakutan yang Tak Diucapkan Para Pakar
Ketika Geoffrey Hinton mengundurkan diri dari Google pada 2023 sambil mengingatkan bahwa Artificial Intelligence bisa menjadi ancaman bagi umat manusia, dunia terperangah. Seorang bapak dari jaringan saraf tiruan justru mengibarkan bendera bahaya. Ia bukan satu-satunya. Sebelum dia, Stephen Hawking telah memperingatkan bahwa AI bisa menjadi akhir dari umat manusia. Stuart Russell mendesak pengembangan AI yang “berpusat pada manusia”. Steve Wozniak dan Jaron Lanier pun menabuh genderang yang sama, bahwa AI bisa mengaburkan makna menjadi manusia.
Tetapi ada hal lain yang jarang disebut atau terlupa. Para pakar ini telah menghabiskan puluhan tahun membangun keahlian yang sangat langka. Mereka mendaki gunung pengetahuan yang curam, berkorban waktu, hidup, dan sering kali mengalami gangguan kesehatan mental demi menemukan apa yang orang lain belum tahu. Keahlian mereka adalah eksklusivitas. Status mereka dibangun bukan hanya dari apa yang mereka tahu, tetapi dari kenyataan bahwa hanya sedikit orang di planet ini yang tahu hal itu.
Maka bayangkan kejutan yang mereka alami saat melihat model AI generatif mampu menulis makalah, merumuskan hipotesis, memecahkan kode, bahkan menghasilkan teori baru—dalam hitungan detik. Ini bukan hanya kemajuan teknologi. Ini adalah erosi status. Karena bila mesin dapat menguasai apa yang dulu hanya bisa dilakukan seorang jenius, maka seorang jenius tak lagi tampak seperti “dewa”, melainkan hanya seperti salah satu dari banyak suara di keramaian.
Teori Modal Budaya dan Disrupsi Inovasi
Mari kita pinjam dua teori yang dapat menjelaskan mengapa ketakutan ini mungkin bukan sekadar soal etika atau keselamatan, melainkan juga tentang kehilangan kekuasaan simbolik.
Pertama, teori modal budaya dari Pierre Bourdieu. Bourdieu menyebut bahwa selain modal ekonomi, ada bentuk modal lain yang menentukan posisi seseorang dalam masyarakat, yaitu modal budaya. Modal yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan, dan legitimasi simbolik. Para ilmuwan, akademisi, dan pakar teknologi memiliki modal budaya yang sangat tinggi. Mereka tidak hanya dihargai karena karya mereka, tetapi karena mereka adalah simbol dari kecerdasan itu sendiri. AI mengancam untuk mengkomodifikasi modal budaya tersebut, menjadikannya sesuatu yang dapat diunduh, dipelajari, dan digunakan siapa saja tanpa harus melalui ritual panjang pendidikan dan riset. Dengan kata lain, AI mendemokratisasi kepakaran. Demokratisasi ini terdengar luhur, tetapi bagi mereka yang telah menghabiskan seumur hidup membangun keunikan, itu bisa terasa seperti penghapusan nilai diri.
Teori kedua yang relevan adalah disrupsi inovasi dari Clayton Christensen. Christensen menjelaskan bahwa inovasi disruptif tidak menyerang pemain lama di puncak teknologi secara frontal, melainkan melalui penggantian bertahap yang dimulai dari layanan yang lebih sederhana, lebih murah, dan awalnya dianggap “tidak serius”. AI generatif melakukan hal itu. Awalnya dianggap mainan, kemudian menjadi alat bantu, lalu menjadi pesaing langsung. Pakar yang dahulu menjadi penyedia jasa berbiaya tinggi seperti penulisan, penerjemahan, analisis data, desain algoritma, tiba-tiba menemukan bahwa mesin yang lahir dari laboratorium mereka sendiri telah menjadi penantang pasar. Mereka tidak lagi berada di posisi eksklusif, tetapi menjadi satu opsi di antara ribuan. Disrupsi ini menurunkan nilai ekonomi dari keahlian mereka, dan secara psikologis memicu resistensi.
Melalui dua lensa teori ini, kita dapat memperoleh cara pandang, bahwa narasi “AI berbahaya” juga bisa berfungsi sebagai benteng untuk mempertahankan posisi sosial-ekonomi mereka. Bukan berarti kekhawatiran mereka tidak tulus, tetapi bisa jadi bercampur dengan naluri mempertahankan wilayah kekuasaan simbolik yang sedang tergerus. Dalam perspektif Neuro Linguistic Programming (NLP), hal ini dapat dibaca sebagai permainan bahasa dan framing: kata-kata “berbahaya”, “ancaman”, atau “tak terkendali” bukan sekadar deskripsi objektif, melainkan pola bahasa yang membentuk realitas psikologis. Dengan memanfaatkan bahasa yang membangkitkan rasa takut dan urgensi, para pakar secara tidak sadar sedang melakukan anchoring untuk menghubungkan AI dengan risiko eksistensial, sekaligus mempertahankan posisi mereka sebagai sumber legitimasi. Narasi tersebut berfungsi seperti reframing, di mana isu kehilangan eksklusivitas diubah menjadi isu keselamatan publik. Dengan demikian, resistensi bukan hanya terjadi pada level struktur sosial (modal budaya dan disrupsi inovasi), tetapi juga pada level kognitif dan linguistik, tempat makna dibentuk, dikendalikan, dan didistribusikan.
Fenomena ini bukan baru. Setiap kali ada teknologi yang mendemokratisasi akses ke pengetahuan, kelompok elit lama selalu menunjukkan resistensi. Ketika mesin cetak ditemukan, para penyalin manuskrip yang dulunya sangat dihormati menuduhnya merusak ilmu. Saat kalkulator elektronik pertama muncul, banyak ahli matematika manual mencemoohnya sebagai alat malas yang akan menghancurkan kemampuan berpikir manusia.
AI hari ini adalah mesin cetak dan kalkulator dalam satu tubuh—ia memperbanyak pengetahuan dan mengotomatiskan kecerdasan. Ia mengubah pengetahuan dari barang langka menjadi barang massal, dan perubahan ini menggeser struktur sosial pengetahuan. Selama ini, untuk menjadi ahli, seseorang harus mendaki jalur yang panjang dan mahal. Kini, seseorang bisa meniru keluaran seorang ahli hanya dengan mengetikkan prompt.
Para pakar tahu, begitu jalur eksklusif itu hilang, peran mereka sebagai gerbang pengetahuan ikut runtuh. Maka muncul wacana perlambatan, moratorium, bahkan pelarangan. Dalam ilmu sosiologi pengetahuan, ini bisa disebut gatekeeping, sebuah mekanisme sosial untuk mempertahankan hierarki keilmuan. Semakin tinggi risiko erosi eksklusivitas, semakin kuat resistensinya. Resistensi itu sering dibungkus dengan bahasa etis atau humanis, karena alasan “melindungi kemanusiaan” terdengar lebih luhur daripada “melindungi posisi saya”.
Tentang Ketakutan Menjadi Manusia Biasa
Pada akhirnya, ketakutan terbesar para pakar ini mungkin bukan bahwa AI akan membunuh umat manusia, tetapi bahwa AI akan menjadikan mereka manusia biasa. Bahwa setelah puluhan tahun dan ratusan ribu jam belajar, berjuang, dan menciptakan, mereka akan duduk di bangku yang sama dengan orang-orang yang baru kemarin belajar. Dalam dunia yang ditata ulang oleh AI, keunggulan masa lalu mereka tidak lagi menjamin kekuasaan simbolik. Dan kehilangan kekuasaan simbolik, bagi orang yang hidupnya dibangun di atas simbol itu, adalah bentuk kematian yang sunyi.
Kita tentu tidak boleh meremehkan risiko etis dan sosial dari AI. Tetapi kita juga tidak boleh buta pada lapisan psikologis dan sosiologis di balik penolakan sebagian pakar terhadapnya. Sebab memahami ketakutan mereka bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengantisipasi dinamika kekuasaan dalam transisi besar ini. Demokratisasi pengetahuan memang menakutkan bagi para elit jenius, tetapi justru di situlah letak keindahan kemajuan. saat pengetahuan tidak lagi dimonopoli, melainkan mengalir ke tangan siapa saja yang berani belajar.
Dan mungkin, saat layar-layar di ruang kaca itu perlahan meredup, para “dewa” pengetahuan akhirnya akan mengerti bahwa mereka tidak benar-benar kehilangan keagungan. Mereka hanya sedang berbagi cahaya. (suf/alf)